Minggu, 12 Februari 2012

PENGARUH MEDIA TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK

Anak rentan terhadap pengaruh media





Pengaruh media terhadap anak makin besar, teknologi semakin canggih dan jumlahnya semakin tinggi. Padahal orangtua tidak punya waktu yang cukup untuk memperhatikan, mendampingi dan mengawasi anak. Anak lebih banyak menghabiskan waktu menonton TV, bermain playstation, menonton video/DVD/VCD daripada melakukan hal lainnya. 


Pola anak dalam mengkonsumsi media memang dapat mempengaruhi anak. Saat ini, tampaknya sulit memisahkan anak-anak dari media. Bayangkan anak sehari-hari menggunakan TV, menonton VCD/DVD, bermain video game, menggunakan internet, membaca komik, memakai handphone dan sebagainya. Anak-anak masa kini adalah anak-anak yang sejak lahir telah terbiasa dengan kehadiran media tersebut diatas, media tersebut “mengepung” anak. Media telah menjadi bagian sehari-hari dari kehidupan anak. Media menjangkau semua orang dimana-mana.

Media merupakan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan satu dengan lainnya. Disatu sisi, media, menampakkan wajah ‘prososial’. Disisi yang lain menampilkan wajahnya yang ‘asosial’. Pada sisi prososial, media melakukan penyebaran informasi melalui media seperti suratkabar, televisi, radio, film, dan internet telah membentuk pengetahuan dan pendapat manusia mengenai berbagai peristiwa atau hal yang menyangkut kehidupan. Pada wajahnya yang positif, media membawa muatan prososial. Misalnya, acara pendidikan dan informasi di TV, buku cerita anak, situs-situs pendidikan di internet, film-film yang menghibur dan sekaligus mendidik, atau videogame yang sehat bagi anak. 


Namun, pada saat media menampilkan sisi negatifnya, media menjadi destruktif. Media menampilkan muatan yang tidak baik dikonsumsi, terutama anak-anak seperti misalnya menampilkan sisi kekerasan, situs porno, komik porno, film atau game kekerasan. Media dikatakan membawa muatan anti-sosial.


Bagi anak-anak, kegiatan menonton televisi bisa jadi merupakan keharusan. Bahkan, ada anak-anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di depan televisi. Dengan begitu, iklan, tayangan dan tampilan pada mediapun bisa menjadi salah satu model bagi bayi dan anak-anak. Dari waktu ke waktu, banyak sekali kasus mengenai dampak media terutama siaran televisi di Indonesia, misalnya “kasus Smackdown”. Kasus lain adalah keluhan seorang ibu karena anaknya yang berusia 3.5 tahun, bicaranya cadel dan tergagap-gagap. Ternyata anak tersebut meniru karakter dalam sinetron “Si Yoyo”. Sinetron tersebut menampilkan sosok pemuda lugu, yang memiliki perilaku dan pola pikir seperti anak kecil. Terbukti bahwa sinetron tersbut telah menjadi “sihir” bagi anak-anak, sehingga banyak yang meniru karakter si Yoyo.
Media menjangkau semua orang dimana-mana. Yang menjadi pertanyaan adalah : seperti apa sesungguhnya media yang digunakan anak-anak kita dan potensial untuk mempengaruhi ? Jawabannya : Mengkhawatirkan !!!!!


Media massa, terutama televisi, merupakan sarana yang sangat efektif untuk mentransfer nilai dan pesan yang dapat mempengaruhi khalayak secara luas. Bahkan televisi dapat membuat orang kecanduan. Kini, media audio visual ini telah menjadi narkotika sosial yang paling efisien dan paling bisa diterima.  Interaksi masyarakat, terutama anak, terhadap televisi, sangat tinggi. Idealnya seorang anak hanya menonton tayangan televisi sebanyak dua jam sehari. Data pola menonton televisi pada anak-anak menunjukkan bahwa jumlah jam menonton anak-anak melampaui batas jam menonton ideal.  Angka 35 jam per minggu, berarti sama dengan 1820 jam per tahun, padahal jam belajar anak sekolah dasar menurut United Nations Education and Culture Organization (UNESCO) tidak melebihi 1000 jam per tahun.  Jika melihat perbandingan jumlah jam menonton televisi dengan jumlah jam belajar di sekolah, maka dikuatirkan proses pembentukan pola pikir, karakter, dan perilaku anak justru terbentuk melalui tayangan televisi.


Penelitian Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) tahun 2006 jumlah menonton TV pada anak-anak SD berkisar antara 30-35 jam seminggu (sekitar 4.5 jam sehari). Belum lagi, angka ini masih ditambah sekitar 10 jam untuk bermain video game. Ini adalah jumlah waktu yang terlalu besar untuk hiburan yang kurang sehat bagi anak. Padahal, batas maksimal yang diperbolehkan ahli adalah anak menonton TV  atau permainan media lainnya seperti play station, komputer dan lain-lain maksimal 2 jam sehari. Data menunjukkan bahwa waktu menonton TV anak-anak saat libur akhir pekan telah lama sekitra 3 jam dibandingkan waktu menonton TV di hari biasa. TV memang menayangkan lebih banyak acara anak di hari libur dibandingkan hari lainnya.
Siapa yang paling gampang terpengaruh media ? Jawabannya : dua kelompok yaitu anak dan remaja. Ada tiga hal yang menjadi penyebab utama  :
  1. Anak dan remaja biasanya belum kritis
  2. Anak dan remaja umumnya senang meng-imitasi apa yang dilihat atau didengar
  3. Pengaruh teman sebaya.

Media Apa Yang Dekat Dengan Anak ?

TELEVISI
Televisi atau TV adalah medium yang paling banyak digunakan sehari-hari oleh kebanyakan orang. Demikian pentingnya TV dalam banyak rumah. Pesawat TV umumnya diletakkan dalam jantung rumah tangga, yakni ruang keluarga. Di antara berbagai media massa, TV dianggap paling berpengaruh. Namun sayang aktivitas TV memangkas waktu interaksi manusia dewasa ini, misalnya interaksi dalam keluarga, menimbulkan dampak negatif berupa peniruan dan penanaman nilai pada anak-anak dan remaja, berkontribusi pada gaya hidup yang tidak sehat, menimbulkan sifat konsumtif, dan sebagainya. Fungsi siaran TV sebagai hiburan jauh lebih menonjol dibanding fungsi yang seharusnya bisa diperankan berupa informasi dan edukasi.

Apa masalahnya dengan menonton TV pada anak ? Banyak anak menonton TV bukan hanya tayangan anak. Anak menonton segala acara, termasuk tayangan kehidupan orang dewasa. Masalahnya, jika anak menonton acara anak pun, belum tentu anak akan bebas dari virus buruk TV. Banuak acara TV bertema kekerasan dan mistik. Aksi kekerasan semacam membunuh, menembak, memukul, menampar, menendang, dan melukai sangat banyak tampil dalam acara anak-anak, baik animasi maupun sinetron. Ini belum ditambah dengan kekerasan verbal dan kata-kata kasar.



Video Game

Tidak semua game itu sehat karena semakin lama makin banyak game yang mengandung kekerasan. Misalnya seperti : Mortal Combat, Tomb Rider, Resident Evil, Street Fighter, dan lain-lain. Video game ini merupakan game yang diperuntukkan bagi orang dewasa, tetapi menjadi permainan populer di kalangan anak –anak. Video semacam ini menyajikan darah dan kekejaman secara ekspresif dan menu utama. Belakangan, game kekerasan juga banyak yang mengandung muatan seks.

Video game (baik yang muatannya sehat) dapat juga membawa dampak buruk karena permainan ini sangat berpotensi mengucilkan anak-anak dari lingkungan sosialnya. Permaianan elektronik ini sangat menghambat anak untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Mereka hanya bermain sendirian, interaksi dilakukan hanya dengan tokoh-tokoh maya yang padaa tingkat tertentu dapat mereka kendalikan dan mereka prediksi perilakunya.

Dengan demikian permainan elektronik ini menutup peluang anak untuk berlatih menghadapi orang-orang lain dalam kehidupan sebenarnya. Permainan ini berpotensi menghambat proses sosialisasi anak-anak. Permainan ini juga dapat membuat anak kecanduan.

Riset dari Yayasan Pengembangan Anak (YPMA) tahun 2008, menunjukkan bahwa anak bermain game rata-rata 1 jam sehari dan 3.5 jam sehari pada hari libur. Permainan ini juga bisa dilakukan dengan komputer, TV atau Handphone (hp). Jika mereka tidak punya permainan game sendiri, mereka dapat dengan mudahnya pergi ke rental game yang harganya cukup terjangkau dan tersebar dimana-mana. Di tempat-tempat seperti ini tidak ada pembatasan usia pemain yang datang dan jenis game yang hendak dimainkan.



Internet

Internet menjadi media yang makin populer dan dekat dengan kehidupan manusia modern sekarang ini, tak terkecuali anak dan remaja. Nilai guna dan sisi positif internet adalah meningkatkan pengetahuan, meningkatkan ketrampilan membaca, sebagai alat komunikasi, membantu untuk penelitian, sebagai alat hiburan dan membentuk jaringan. Adapaun nilai destruktif atau sisi negatif internet yang paling banyak disebut adalah pornografi. Anak menjadi korban pornografi di internet dengan dua cara : sebagai konsumen dan sebagai komoditas. Anak sebagai komoditas internet dipakai oleh kaum pedofilia untuk meng”akses’ anak.

Saat ini, situs yang paling populer adalah situs jaringan pertemanan, facebook. Selain itu anak jugas mengenal situs twitter, plurk dan sebagainya. Selain menggunakan internet untuk berkomunikasi, anak juga menggunakannya untuk bermain game on-line atau untuk mengerjakan tugas sekolah.



Handphone/Ponsel

Anak-anak banyak menggunakan ponsel. Media yang satu ini punya kemampuan yang banyak sekali, bukan sekedar untuk menelpon atau sms, dan lain-lain. Hp juga dapat dipakai untuk mengakses internet. Survei YPMA tahun 2006 menunjukkan bahwa anak umumnya menggunakan HP untuk meng-SMS, menelpon teman, memotret, bermain game dan bertukar gambar melalui MMS. Hanya sebagian kecil, anak yang menggunakan HP untuk menelpon orangtua mereka.



Film VCD/DVD
 
Anak-anak mudah mendapatkan film VCD/DVD di pasaran. Selain itu, harganya murah. Rental film VCD/DVD bertebaran dimana-mana. Masalahnya adalah, film yang beredar banyak sekali yang tidak sehat dikonsumsi anak, karena mengandung seks dan kekerasan. Tambahan pula, orangtua banyak sekali yang tidak mengontrol konsumsi film untuk anaknya.

Kadang, menonton VCD/DVD di rumah dilakukan secara berkelompok. Potensi anak untuk menonton film-film dewasa yang belum pantas ditontonya pun menjadi besar apalagi karena tiadanya kontrol, pengawasan atau seleksi film oleh orangtua.



Komik

Salah satu yang banyak dikeluhkan pada masa kini adalah rendahnya minat baca anak. Kalau toh suka membaca, yang disukai anak adalah membaca komik. Dari anak sampai remaja suka komik. Kebanyakan yang disukai adalah komik Jepang. Jenis komik ini banyak berisi muatan kekerasan dan banyak mengandung seks.

Sebenarnya banyak di antara komik Jepang tersebut yang bukan diperuntukkan untuk anak, tetapi untuk remaja bahkan dewasa (karena banyak unsur seks yang ditampilkannya). Tetapi karena tampilannya komik, anak-anakpun banyak yang mengkonsumsinya. Apalagi orangtua juga seringkali tidak mengontrol atau menyeleksi komik yang dibaca anak. Banyak orang, mengira karena bentuknya komik maka itu adalah bacaaan anak.



Apakah Media Berpengaruh ?

Dapat dikatakan, pada saat ini anak-anak “terkepung” media. Banyak judul komik yang populer memiliki versi TV dan game. Kemudian timbul pula merchandise-nya   (kartu, boneka, pin, poster, stiker, kaus, tas, tempat pensil, dll) Misalnya Crayon Sinchan, Tom & Jerry atau Naruto. Padahal kita tahu, banyak dari muatan itu negatif, mengandung daya destruktif atau tidak sehat bagi anak.

Apakah media memang dapat mempengaruhi anak ? Pengaruh media terhadap khalayak bisa di tingkat kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan dan perilaku (behaviour).



Media adalah salah satu agen sosialisasi. Sosialisasi adalah proses penyampaian (transmisi) nilai. Pada proses ini individu mengadopsi nila dan perilaku dari berbagai sumber (yang disebut sebagai “agen sosialisasi”). Media adalah salah satu agen sosialisasi, disamping sekolah, orangtua, saudara kandung dan teman.


Teori yang paling populer yang menjalaskan bahwa pada anak-anak terjadi pembelajaran setelah melihat contoh (observational learning). Melalui agen-agen sosialisasi ini, anak menerima informasi dan belajar tentang sikap dan perilaku, baik melalui instruksi formal (misalnya : orangtua menyatakan apa yang harus dikerjakan atau apa yang boleh dan tidak boleh, dsb), pengalaman langsung atau melalui observasi terhadap tindakan orang lain. Observational learning dapat dijelaskan melalui social learning (belajar sosial). Teori ini menyatakan, belajar terjadi karena peniruan (limitation). Kemampuan meniru respons orang lain, adalah penyebab utama belajar. Contoh-contoh social learning : orang belajar bagaimana memakai mode pakaiana, bagaimana berkencan, bagaimana sebaiknya bersikap sebagai pria atau wanita, dan tentu saja orang belajar perilaku-perilaku seksual dan agresi baru dari film atau acara di TV, game atau internet. Orang dapat memperoleh pola-pola perilaku baru melalui pengamatan terhadap orang-orang lain. Model yang ditiru tidak harus berupa bentuk hidup. Penyajian simbolik atau piktorial (acara TV, game, atau internet misalnya) juga berfungsi sebagai sumber peniruan.


Dalam hal ini, anak adalah seperti kertas putih (atau mesin photocopy) yang haus belajar. Ia siap diisi oleh apa saja dan akan menjiplak apa saja yang masuk ke dalam benaknya. Anak akan menyerap tawaran dari medai, karena ia belum memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan bagi dirinya sendiri. Itulah sebabnyha, anak disebut sebagai “khalayak yang rentan”. Pertama, karena anak cendrung tidak kritis. Kedua, anak memiliki kecendrungan tinggi untuk mencoba dan mengimitasi. Ketiga, anak cenderung loyal pada sesuatu yang telah disukainya.  Apalagi, anak juga kerap tidak mampu membedakan antara fantasi dan realita. Karena itu, jika misalnya ia kerap melihat adegan kekerasan di TV atau game maka ia akan menyangka kekerasan itu nyata dan ketiak ia berada pada situasi yang mirip dengan apa yang dilihatnya di media, ia akan mempraktekkan kekerasan yang dilihatnya di acara TV atau game itu.

Media menjadi agen sosialisasi yang penting, karena anak-anak kita makin terbiasa dengan media sejak usia yang masih dini. Anak-anak kita besar dengan media. Media laksana babysitter bagi mereka. Sialnya, kualitas babysitter ini kebanyakan buruk. Media mengenalkan anak-anak pada kehidupan dewasa. Itulah yang membuat anak-anak tercerabut dari masa kanak-kanak yang seharusnya. Anak-anak sejak kecil sudah mengenal banyak hal dari aspek kehidupan orang dewasa, sehingga ia terperangkap dalam kedewasaan baik secara fisik, psikologis, ataupun sosial. Padahal anak-anak belum siap untuk itu.


Dari media tertentu, lihatlah film kartun anak-anak. Banyak yang isinya terkait dengan hubungan pria-wanita dan seks. Misalnya : Popeye dan Crayon Sinchan.

Kemudian iklan TV. Mari kita lihat iklan Irex, Rapet Wangi atau On-Clinic. Semuanya menjual seks, padahal iklan-iklan itu bisa saja ditayangkan pada jam tayang keluarga. Atau, lihatlah tabloid-tabloid porno yang dijajarkan di pinggir jalan. Anak-anak setiap saat dapat melihatnya. Mereka sejal kecil sudah melihat gambar perempuan dewasa nyaris telanjang. Dan itu seks, ada pula sinetron, telenovela atau film layar lebar yang menampilakn hubungan pria-wanita atau seks secara eksplisit. Sekaligus, dari kisah-kisahnya mereka menangkap tentang penyelewengan, perceraian, dan kirisis hubungan pria-wanita lainnya. Ada pula videoklip yang menjual seks. Ada perempuan-perempuan nyaris telanjang yang menari bergoyang sensual. Belum lagi, syar yang dinyanyikan kadangkala mengandung muatan seks pula. Anak-anak juga mengenal seks, melalui gambar atau video di internet atau videogame.

Kemudian, mereka juga belajar kekerasan dari media melalui film kartun, film dewasa, sinetron, dan game. Dari sini kadang-kadang anak belajar bahwa kekerasan adalah jalan keluar untuk menyelesaikan masalah. Mereka juga mengenal horor sedari mereka sangat kecil. Kemungkinan karena di rumah para orang dewasa menonton acara misteri di TV atau film yang menampilkan mak lampir, kuntilanak, tuyul, dsb. Sekaligus, dengan menonton acara-acara demikian, anak-anak berkenalan dengan dunia klenik. Daftar ini akan bertambah panjang jika kita juga berbicara tentang profanity, kata-kata vulgar, kasar dan tidak sopan yang sering jadi langgam bicara para tokoh yang tampil di sinetron atau film.



Jadi, Apa yang Harus Kita Lakukan ?

Lalu bagaimana ? Apakah kita harus menghindarkan diri anak-anak dari media ? Tidak perlu !!!, karena  :  (1) pengaruh media seperti dua sisi mata uang dalam satu koin, (2) kita sukar sekali mengisolasi dri dari media, dan (3) ada sisi media yang baik dan ada sisi media yang buruk.  Kita tetap dapat mengkonsumsi media, hanya harus disadari bahwa perilaku tersebut sebaiknya dilengkapi dengan suatu ketrampilan atau kemampuan mendasar. Kemampuan itu adalah yang disebut dengan Melek Media (Media Literacy).

Pada intinya, melek media adalah kemampuan-kemampuan atau semacam daya kritis untuk mengakses, memilih dan memilah (seleksi) media, dan menggunakannya sesuai dengan kebutuhan. Melek media membuat orang menggunakan media secara sadar. Orang yang melek media tidak akan bersikap pasif secara sadar. Kemampuan ini terentang dari mulai timbulnya kesadaran dalam menggunakan media hingga sedikit banyak kita mengetahui bagaimana mengoperasikan media dan bagaimana media diproduksi.

Secara rinci, kemampuan melek media antara lain :
  • Kita sadar dalam menggunakan media
  • Kita tahu apa guna kita mengkonsumsi media
  • Kita kritis terhadap isi media
  • Kita dapat menyeleksi jenis dan isi media yang dikonsumsi, sesuai dengan usia dan kebutuhannya
  • Kita dapat mengatur kapan waktu mengonsumsi media dan membatasi jumlah jamnya.
  • Kita mengetahui apa dampak media
  • Kita mampu mengoperasikan media
  • Kita tahu bagaimana memproduksi media
Mengingat kondisi perkembangan media yang ada sekarang dan bagaimana pola konsumsi media anak, maka kemampuan melek media adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh guru dan orangtua. Dalam hal inilah, maka sekolah harus memberi perhatian pada apa yang disebut sebagai PENDIDIKAN LITERASI MEDIA.

Di sejumlah negara maju,pendidikan media yang mengajarkan agar sesorang menjadi melek media sudah diajarkan di bangku sekolah (misalnya di Inggris, Canada dan Australia). Di Indonesia, gagasan ini mulai diperkenalkan walau masih dalam lingkup sangat terbatas.  Salah satu yang berusaha memperkenalkan pendidikan literasi media adalah Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA). Sejauh ini upaya yang dilakukan adalah dalam bentuk pengembangan kurikulum, pelatihan guru, dan sosialisasi ketrampilan melek media kepada orantua dan anaknya.

Upaya ini memang baru dan skala masih terbatas. Tetapi dengan dukungan berbagai pihak, termasuk pihak sekolah yang akan menjadi ujung tombak pelaksanaan kegiatan ini, ketrampilan melek media dapat diberikan kepada anak. Tujuannya tentu saja agar anak menjadi melek media, suatu bekal yang diperlukan agar ia dapat menjadi konsumen media yang bijak yang dapat membawa kemashalatan bagi dirinya dan masyarakat.

Gambaran yang ditulis banyak dari tulisan ini menyebutkan bahwa media yang mengepung anak kondisinya mengkhawatirkan, dalam arti muatannya banyak yang tidak sehat dan tidak aman bagi anak. Kalau dimisalkan media dengan isi yang tidak mendidik adalah sejenis virus, maka melek media dapat diibaratkan antivirus untuk menangkap pengaruh buruk dari virus tersebut.

Our little steps will make BIG difference, So ACT now!! And make the CHANGE.

Tulisan ini dimaksudkan untuk mendukung sosialisasi Pendidikan Literasi Media.
A special thanks to my best colleague, Rahmita Prathama Soedjojo, yang telah mengenalkan saya pada Pendidikan Literasi Media.
My special appreciation to my other colleagues : Ardiyanti Ruqoyah, Syahrul Ismet and Itsnain AlFajri Husein – who has make the Group 5 presentation runs smooth....dalam mata kuliah Pendidikan Informasi dan Komunikasi (ICT – Information and Communication Technology).


Sumber Pustaka :
  • Bahan Ajar Pendidikan Media untuk Guru, 2010, Dikembangkan oleh Yayasan Pengembangan Media Anak dengan dukungan UNICEF.
  • Pengaruh Media Terhadap Perkembangan Anak, Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal, Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, 2009.

2 komentar:

  1. Tulisan anda sangat menginsipirasi. Mohon izin menggunakan tulisan anda ini untuk mengisi ceramah orang tua wali murid pada acara Pertemuan wali santri di SD Birrul walidain Muhammadiyah Sragen jawa tengah pada ahad tgl 1 desember 2013. atas perkenannya saya ucapkan Jazakumullah khoriran katsiron. Syukran

    BalasHapus
  2. assalamualaykum saudara saya minta izin untuk mengcopy tulisan saudara

    BalasHapus